MEMAKNAI
POTENSI KECERDASAN ANAK SEJAK DINI
Kenapa ya anak saya kok tidak seperti
si Mona ? Padahal usianya sama, sekolahnya juga sama. Si Mona sudah bisa membaca,
kalau ditanya selalu bisa menjawab dengan lancar, tapi Doni anak saya.... boro-boro
membaca, mana A mana B saja dia tidak tahu, apalagi kalo ditanya, pertanyaannya
ke mana jawabannya lari kemana, susah nyambung.... Apa si Doni kurang cerdas
ya....
Paradigma atau anggapan
seperti ini sering muncul dalam benak orang tua, apabila melihat perkembangan anaknya
berbeda dibandingkan dengan teman sebayanya, sehingga tanpa pikir panjang orang
tua akan langsung mengambil jalan pintas dengan melakukan segala upaya agar
sang anak bisa sepintar temannya, anak diharuskan les baca tulis dan berhitung,
les bahasa, les musik dsb. Tidak ada
yang salah dalam upaya tersebut, sepanjang masih dalam koridor kesesuaian. Yang
keliru adalah bila orang tua (kadang
tanpa disadari) menuntut sang anak untuk bisa menjadi seperti apa yang mereka
inginkan, menjadi seperti teman-teman sebayanya “yang dianggap lebih cerdas”, memberi
target khusus bahwa kamu harus bisa ini, bisa itu tanpa memperhatikan
kemampuan, kemuan, bakat dan minat sang anak. Sehingga anak menjadi stress, malas
belajar, mogok/susah bila disuruh belajar dan berbagai problematika lain yang
semuanya berbuntut semakin buruknya prestasi anak di sekolah dan semakin kurang
baiknya hubungan antara anak dengan orang tua. Kasus ambisi orang tua
memintarkan anaknya seperti ini, sangat sering terjadi. Kita lihat saja, sekolah-sekolah
berlabel Internasional tak pernah sepi peminat. Padahal belum tentu sekolah
seperti itu yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu dalam hal ini orang tua
perlu bijak memilih. Agar anak tidak menjadi stress akibat dipaksa pintar.
Alih-alih ingin menjadi pintar, yang terjadi malah si anak harus menjalani terapi
dan yang lebih parah lagi, potensi anak yang sesungguhnya menjadi tak tergali.
Membunuh Potensi
Kecerdasan Anak.
Menurut Dr Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika
setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka untuk
menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara lain : keingintahuan, daya
eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas, dan fleksibilitas.
Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang tua dan guru hanyalah
mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar bertahan sampai
anak-anak itu tumbuh dewasa. Mengapa demikian? Karena ternyata diketahui
kualitas kecerdasan ini bisa rusak karena adanya sebab tertentu. Dan ironisnya
pengaruh kuat yang merusak potensi kecerdasan itu ternyata datang dari
lingkungan terdekat mereka, yaitu rumah dan sekolah.
Situasi
rumah yang menimbulkan depresi dan keterasingan, berperan memupus bakat alamiah
atau potensi kecerdasan anak. Tekanan dari orang tua yang karena sebab tertentu
malah menghambat kreatifitas, keingintahuan dan kegembiraan dalam bermain
anak-anak. Ambisi orang tua agar anak-anak mereka meraih prestasi tertentu
mendorong anak-anak ini untuk tumbuh terlampau cepat melampaui usia mental
mereka dan pada saat bersamaan menghilangkan kegembiraan masa kecil mereka. Padahal
para ahli mengingatkan bahwa anak belajar dari permainan mereka. Bagi anak-anak
bermain bukan aktifitas remeh melainkan aktifitas yang serius terutama bagi
perkembangan mereka. Sayangnya yang terlihat di masyarakat kita justru
kenyataan sebaliknya. Di usia sangat dini mereka harus kehilangan kegembiraan
masa kecil mereka. Anak-anak kerap menanggung beban keinginan orang tua mereka
sendiri dengan terpaksa mengikuti berbagai macam kursus: mulai kursus bahasa
asing, sempoa, piano dan sebagainya. Sebenarnya mengikuti berbagai kursus itu
tidak menjadi masalah asal keinginan itu datang dan atas kemauan anak itu
sendiri. Prinsipnya anak-anak tidak kehilangan kegembiraan dalam menjalaninya
dan tidak kehilangan masa bermain mereka. Bila konsep ini sudah dipahami, maka
seharusnya tak ada lagi orang tua yang memaksa anaknya yang masih TK bahkan
balita untuk bisa cepat membaca atau fasih berbahasa bahkan mungkin berhitung.
Karena tanpa dipaksapun, bila sudah saatnya kemampuan anak akan berkembang
dengan sendirinya.
Kemudian
di sekolah, perusakan potensi kecerdasan alami itu terjadi lewat kurikulum yang
terlampau kaku, tidak fleksibel atau malah membebani. Situasi sekolah yang
tidak menyenangkan, guru yang mengajar dengan cara yang membosankan juga ikut
andil menyumbang terkuburnya potensi alami tersebut.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu
dikembangkan pendekatan pendidikan yang menjadi alternatif bagi sekolah pada
umumnya. Sekolah alternatif ini haruslah dirancang atas pendekatan bahwa setiap
anak itu mempunyai kecerdasannya sendiri. Lingkungan sekolah dirancang agar
anak-anak tumbuh dengan kreatifitas mereka sendiri, tidak kehilangan kegembiraan
masa kecil mereka, dan membuka ruang yang lebar untuk mengeksplorasi
lingkungannya. Kecerdasan alami anak dirangsang lewat kegiatan sederhana
seperti bercerita, permainan, kunjungan ke tempat tertentu, dan mengajukan
pertanyaan kritis.
Multiple Intelligences
Pendekatan pendidikan
terbaru dikembangkan atas keyakinan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasannya
sendiri dengan cara yang benar-benar berbeda dengan anak lain. Dalam
penerapannya diupayakan menghindari membanding-bandingkan antara anak satu
dengan anak lainnya. Kegiatan Belajar dan Mengajar dilakukan dengan menggunakan
pendekatan Multiple Intelligences, yaitu pendekatan bahwa ada banyak kecerdasan
yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dikembangkan oleh pakar neurosains Dr
Howard Gardner (1983), bahwa manusia mempunyai delapan macam kecerdasan yaitu :
kecerdasan linguistik, matematis-logis, visual-spasial, musik, kinestetik,
interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Dengan demikian, anak mempunyai
peluang untuk dapat berkembang dan berprestasi di berbagai bidang, tidak hanya
terbatas pada ilmu eksak semata.
Anak didik dipetakan
menurut kedelapan kecerdasan ini dan mendidik mereka dengan cara berbeda sesuai
dengan tipe kecerdasan yang dimiliki masing-masing anak. Karena itu metode
pengajaran yang diterapkan bisa sangat khas. Mengajarkan matematika misalnya,
cara mengajar untuk anak dengan tipe kecerdasan linguistik (memahami sesuatu melalui uraian & penjelasan)
berbeda dengan anak bertipe kecerdasan matematis-logis (memahami sesuatu melalui perumusan dan hitungan) dan berbeda pula
untuk anak dengan tipe kecerdasan visual-spasial (memahami sesuatu melalui gambar & praktek langsung)
Pada umumnya para pengajar
akan berkeberatan jika murid-murid mereka bergerak selama pelajaran
berlangsung, di sisi lain anak dengan tipe kecerdasan kinestetik yang selalu
bergerak, akan tersiksa jika mereka harus duduk diam selama pelajaran
berlangsung, padahal anak dengan tipe ini akan sangat cepat menyerap pelajaran
justru dengan membiarkannya bergerak. Pola inilah yang dikenal dengan mendidik
sesuai kecerdasan anak. Para pendidik di sekolah seperti ini mempunyai
keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam
mempelajari atau menguasai sesuatu. Jadi tidak perlu memaksa anak yang belum bisa
membaca untuk bisa membaca misalnya. Sebab jika tiba saatnya anak ini akan
mampu membaca dengan sendirinya bahkan kemampuannya bisa melampaui anak yang
mampu membaca di usia yang lebih dini. Sangat penting untuk disadari adalah
menciptakan kondisi yang mampu membuka gerbang kecintaan anak-anak akan
pembelajaran. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi
pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri
sepanjang hidup mereka. Dan hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan
setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses
pembelajaran itu sendiri. Karena belajar itu yang terpenting adalah prosesnya,
bukan hasil akademiknya.
Di Lembaga Pendidikan Anak
Usia Dini At Tadzkiroh Pondok Wage Indah II, telah dikembangkan pendekatan
pendidikan melalui pengembangan potensi kecerdasan anak sejak dini. Dengan
mengetahui atau mengenal kecerdasan setiap anak, akan memudahkan untuk
menyalurkan potensi seorang anak dengan sebaik-baiknya, sehingga anak akan
sangat senang dan berprestasi dalam bidang tertentu. Semakin sibuk anak dengan
aktivitas-aktivitas yang mendorong potensi kecerdasannya, maka akan semakin
meminimalisir ‘kenakalan anak.’ Dan tentunya semua akan dapat terwujud dengan
adanya kesinambungan pembelajaran antara di sekolah dengan di rumah. Karena
kedua-duanya memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam menjaga agar potensi
dasar anak bisa berkembang dan tetap dipertahankan hingga anak tumbuh dewasa.