Rabu, 20 Juni 2012

POTENSI KECERDASAN ANAK


MEMAKNAI POTENSI KECERDASAN ANAK SEJAK DINI
Kenapa ya anak saya kok tidak seperti si Mona ? Padahal usianya sama, sekolahnya juga sama. Si Mona sudah bisa membaca, kalau ditanya selalu bisa menjawab dengan lancar, tapi Doni anak saya.... boro-boro membaca, mana A mana B saja dia tidak tahu, apalagi kalo ditanya, pertanyaannya ke mana jawabannya lari kemana, susah nyambung.... Apa si Doni kurang cerdas ya....
Paradigma atau anggapan seperti ini sering muncul dalam benak orang tua, apabila melihat perkembangan anaknya berbeda dibandingkan dengan teman sebayanya, sehingga tanpa pikir panjang orang tua akan langsung mengambil jalan pintas dengan melakukan segala upaya agar sang anak bisa sepintar temannya, anak diharuskan les baca tulis dan berhitung, les bahasa, les musik dsb.  Tidak ada yang salah dalam upaya tersebut, sepanjang masih dalam koridor kesesuaian. Yang keliru adalah bila orang tua (kadang tanpa disadari) menuntut sang anak untuk bisa menjadi seperti apa yang mereka inginkan, menjadi seperti teman-teman sebayanya “yang dianggap lebih cerdas”, memberi target khusus bahwa kamu harus bisa ini, bisa itu tanpa memperhatikan kemampuan, kemuan, bakat dan minat sang anak. Sehingga anak menjadi stress, malas belajar, mogok/susah bila disuruh belajar dan berbagai problematika lain yang semuanya berbuntut semakin buruknya prestasi anak di sekolah dan semakin kurang baiknya hubungan antara anak dengan orang tua. Kasus ambisi orang tua memintarkan anaknya seperti ini, sangat sering terjadi. Kita lihat saja, sekolah-sekolah berlabel Internasional tak pernah sepi peminat. Padahal belum tentu sekolah seperti itu yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu dalam hal ini orang tua perlu bijak memilih. Agar anak  tidak menjadi stress akibat dipaksa pintar. Alih-alih ingin menjadi pintar, yang terjadi malah si anak harus menjalani terapi dan yang lebih parah lagi, potensi anak yang sesungguhnya menjadi tak tergali.
Membunuh Potensi Kecerdasan Anak.
Menurut Dr Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara lain : keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas, dan fleksibilitas. Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang tua dan guru hanyalah mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar bertahan sampai anak-anak itu tumbuh dewasa. Mengapa demikian? Karena ternyata diketahui kualitas kecerdasan ini bisa rusak karena adanya sebab tertentu. Dan ironisnya pengaruh kuat yang merusak potensi kecerdasan itu ternyata datang dari lingkungan terdekat mereka, yaitu rumah dan sekolah.
Situasi rumah yang menimbulkan depresi dan keterasingan, berperan memupus bakat alamiah atau potensi kecerdasan anak. Tekanan dari orang tua yang karena sebab tertentu malah menghambat kreatifitas, keingintahuan dan kegembiraan dalam bermain anak-anak. Ambisi orang tua agar anak-anak mereka meraih prestasi tertentu mendorong anak-anak ini untuk tumbuh terlampau cepat melampaui usia mental mereka dan pada saat bersamaan menghilangkan kegembiraan masa kecil mereka. Padahal para ahli mengingatkan bahwa anak belajar dari permainan mereka. Bagi anak-anak bermain bukan aktifitas remeh melainkan aktifitas yang serius terutama bagi perkembangan mereka. Sayangnya yang terlihat di masyarakat kita justru kenyataan sebaliknya. Di usia sangat dini mereka harus kehilangan kegembiraan masa kecil mereka. Anak-anak kerap menanggung beban keinginan orang tua mereka sendiri dengan terpaksa mengikuti berbagai macam kursus: mulai kursus bahasa asing, sempoa, piano dan sebagainya. Sebenarnya mengikuti berbagai kursus itu tidak menjadi masalah asal keinginan itu datang dan atas kemauan anak itu sendiri. Prinsipnya anak-anak tidak kehilangan kegembiraan dalam menjalaninya dan tidak kehilangan masa bermain mereka. Bila konsep ini sudah dipahami, maka seharusnya tak ada lagi orang tua yang memaksa anaknya yang masih TK bahkan balita untuk bisa cepat membaca atau fasih berbahasa bahkan mungkin berhitung. Karena tanpa dipaksapun, bila sudah saatnya kemampuan anak akan berkembang dengan sendirinya.
Kemudian di sekolah, perusakan potensi kecerdasan alami itu terjadi lewat kurikulum yang terlampau kaku, tidak fleksibel atau malah membebani. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan, guru yang mengajar dengan cara yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami tersebut.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu dikembangkan pendekatan pendidikan yang menjadi alternatif bagi sekolah pada umumnya. Sekolah alternatif ini haruslah dirancang atas pendekatan bahwa setiap anak itu mempunyai kecerdasannya sendiri. Lingkungan sekolah dirancang agar anak-anak tumbuh dengan kreatifitas mereka sendiri, tidak kehilangan kegembiraan masa kecil mereka, dan membuka ruang yang lebar untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kecerdasan alami anak dirangsang lewat kegiatan sederhana seperti bercerita, permainan, kunjungan ke tempat tertentu, dan mengajukan pertanyaan kritis.

Multiple Intelligences
Pendekatan pendidikan terbaru dikembangkan atas keyakinan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasannya sendiri dengan cara yang benar-benar berbeda dengan anak lain. Dalam penerapannya diupayakan menghindari membanding-bandingkan antara anak satu dengan anak lainnya. Kegiatan Belajar dan Mengajar dilakukan dengan menggunakan pendekatan Multiple Intelligences, yaitu pendekatan bahwa ada banyak kecerdasan yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dikembangkan oleh pakar neurosains Dr Howard Gardner (1983), bahwa manusia mempunyai delapan macam kecerdasan yaitu : kecerdasan linguistik, matematis-logis, visual-spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Dengan demikian, anak mempunyai peluang untuk dapat berkembang dan berprestasi di berbagai bidang, tidak hanya terbatas pada ilmu eksak semata.
Anak didik dipetakan menurut kedelapan kecerdasan ini dan mendidik mereka dengan cara berbeda sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimiliki masing-masing anak. Karena itu metode pengajaran yang diterapkan bisa sangat khas. Mengajarkan matematika misalnya, cara mengajar untuk anak dengan tipe kecerdasan linguistik (memahami sesuatu melalui uraian & penjelasan) berbeda dengan anak bertipe kecerdasan matematis-logis (memahami sesuatu melalui perumusan dan hitungan) dan berbeda pula untuk anak dengan tipe kecerdasan visual-spasial (memahami sesuatu melalui gambar & praktek langsung)
Pada umumnya para pengajar akan berkeberatan jika murid-murid mereka bergerak selama pelajaran berlangsung, di sisi lain anak dengan tipe kecerdasan kinestetik yang selalu bergerak, akan tersiksa jika mereka harus duduk diam selama pelajaran berlangsung, padahal anak dengan tipe ini akan sangat cepat menyerap pelajaran justru dengan membiarkannya bergerak. Pola inilah yang dikenal dengan mendidik sesuai kecerdasan anak. Para pendidik di sekolah seperti ini mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Jadi tidak perlu memaksa anak yang belum bisa membaca untuk bisa membaca misalnya. Sebab jika tiba saatnya anak ini akan mampu membaca dengan sendirinya bahkan kemampuannya bisa melampaui anak yang mampu membaca di usia yang lebih dini. Sangat penting untuk disadari adalah menciptakan kondisi yang mampu membuka gerbang kecintaan anak-anak akan pembelajaran. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Dan hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri. Karena belajar itu yang terpenting adalah prosesnya, bukan hasil akademiknya.
Di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini At Tadzkiroh Pondok Wage Indah II, telah dikembangkan pendekatan pendidikan melalui pengembangan potensi kecerdasan anak sejak dini. Dengan mengetahui atau mengenal kecerdasan setiap anak, akan memudahkan untuk menyalurkan potensi seorang anak dengan sebaik-baiknya, sehingga anak akan sangat senang dan berprestasi dalam bidang tertentu. Semakin sibuk anak dengan aktivitas-aktivitas yang mendorong potensi kecerdasannya, maka akan semakin meminimalisir ‘kenakalan anak.’ Dan tentunya semua akan dapat terwujud dengan adanya kesinambungan pembelajaran antara di sekolah dengan di rumah. Karena kedua-duanya memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam menjaga agar potensi dasar anak bisa berkembang dan tetap dipertahankan hingga anak tumbuh dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar